Refleksi 2016: Berburu yang Bukan Buku


Dari sekian banyak “resolusi” saya untuk tahun 2016, mungkin berburu proyek penerjemahan nonbuku menempati tempat teratas.

Bukan rahasia lagi, tarif penerjemahan nonbuku lebih menjanjikan ketimbang buku. Tapi keinginan saya mencemplung di nonbuku justru karena saya cinta sekali penerjemahan buku. Dalam bayangan saya, idealnya dengan mengerjakan dokumen yang secara ekonomi lebih menguntungkan, saya akan bisa lebih berkonsentrasi saat menerjemahkan buku dan menyuguhkan hasil terbaik kepada pembaca.

Karena itulah, selama tahun 2016 waktu saya cukup tersita untuk mencari klien di luar penerbit buku. Akibatnya, performa saya menurun, “hanya” menggarap tujuh buku, 4 editan dan 3 terjemahan, lebih sedikit dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Tulisan berikut ini sama sekali bukan tentang tips mencari klien agensi penerjemahan (untuk selanjutnya disebut agensi saja), karena untuk itu masih banyak yang harus saya pelajari. Di sini saya hanya ingin berbagi apa saja yang sudah saya kerjakan selama ini.

  • Merapikan CV. Inilah yang pertama kali saya lakukan begitu memutuskan melamar ke agensi. Berbekal ilmu dari Temu Komp@k HPI tentang membangun karier sebagai penerjemah (silakan baca: CV Penerjemah, Perlu Dibuat Berbeda), saya mulai merapikan CV dan memperbarui daftar pengalaman saya, termasuk mencantumkan “HPI Certified Translator” (*uhuk).
  • Memperbaiki profil online. Profil profesional saya sejauh ini terpajang di LinkedIn, Sihapei, ProZ, dan tentu saja blog. Seperti CV, semua profil ini perlu diperbarui, dan untuk itu saya mempelajari profil online beberapa penerjemah senior. Khusus blog, perubahan yang saya lakukan cukup radikal (silakan baca: Wajah Baru Blog Penerjemah Buku), tapi saya percaya memiliki blog atau situs web penerjemahan bisa meningkatkan profesionalisme penerjemah di mata klien.
  • Mencari pemberi referensi. Meski tidak semua, beberapa agensi meminta pelamar mengajukan nama pemberi referensi dalam aplikasi. Alhamdulillah saya pernah bekerja sama dengan beberapa editor yang baik hati, masing-masing dari penerbit yang berbeda. Saat saya hubungi, mereka langsung bersedia menjadi pemberi referensi. Sejauh ini agensi hanya membutuhkan nama pemberi referensi, alamat email atau nomor kontak yang bisa dihubungi, serta penjelasan singkat kerja sama yang pernah saya lakukan dengan mereka.
  • Membuat daftar agensi. Banyak penerjemah senior yang menyarankan bergabung dengan ProZ atau TranslatorsCafe untuk memperbesar peluang mendapat klien, terutama agensi luar negeri. Saya punya akun ProZ, tapi masih yang gratisan, sehingga saya tidak mendapat akses ke Blue Board (semacam daftar agensi penerjemahan di seluruh dunia beserta review dari penerjemah yang pernah bekerja sama dengan mereka). Tanpa fasilitas Blue Board, saya harus mencari sendiri agensi penerjemahan yang menurut saya kredibel. Setiap agensi saya catat dalam suatu daftar tabel, lengkap dengan tanggal pengajuan aplikasi, tarif yang saya ajukan, dan respons yang diberikan oleh agensi.
  • Memasukkan lamaran. Setelah semua amunisi siap, saya membuka situs web agensi yang akan saya lamar dan mengklik tautan “Careers” atau “Work With Us” atau “Vacancies” atau sejenisnya. Setelah itu, saya tinggal mengikuti langkah-langkah yang ada dan memasukkan informasi yang diminta. Sekiranya dibutuhkan, saya membuat surat pengantar singkat, yang isinya perkenalan, pasangan bahasa, spesialisasi, serta tarif yang saya tawarkan.

Bagaimana hasilnya? Selama hampir setahun ini, dari sekitar 80 aplikasi yang saya masukkan ke berbagai agensi, baru satu yang benar-benar memberikan pekerjaan. Sisanya sekadar menanggapi bahwa aplikasi telah diterima, memberikan tes, menawar tarif saya, dan berjanji akan memberikan pekerjaan jika ada yang sesuai dengan kualifikasi saya, tetapi lebih sering tidak memberikan respons apa-apa.

Mungkin kelihatannya ribet, tetapi seperti yang disebutkan Corinne McKay dalam bukunya How to Succeed as a Freelance Translator, di sinilah tantangan terbesar penerjemah pemula, yaitu menemukan klien pertama. Jadi, sepertinya pemburuan masih akan terus berlanjut :D.

2 thoughts on “Refleksi 2016: Berburu yang Bukan Buku

  1. Kalau sudah punya klien/agen nonbuku yang memberi pekerjaan rutin, menerjemahkan buku sudah pasti akan keteteran. Aku sekarang cuma sempat menerjemahkan 1-2 buku per tahun. Kadang kangen juga bisa konsentrasi penuh ke buku. Salah satu jalan keluarnya menembus penerbit asing dan menerjemahkan sastra Indonesia ke Inggris. Jadi, bisa menerjemahkan buku sekaligus mendapat tarif lebih besar. Tapi baru tahap merintis untuk sampai ke sana.

    1. Makasih masukannya, Femmy. Aku membayangkan begitu (ikut terjun ke dokumen yang secara finansial lebih mencukupi agar bisa lebih tenang mengerjakan buku) lantaran sering kali penerjemah buku bekerja terburu-buru hanya demi mengejar pemasukan dan mengorbankan mutu terjemahan. Menurutku itu sayang sekali. Tapi mungkin kondisinya nggak akan seideal itu kalau sudah mendapat klien rutin seperti Femmy, ya.

      Semoga sukses dengan penerbit asingnya, Femmy 😉

Leave a comment