Refleksi 2016: Berburu yang Bukan Buku

Dari sekian banyak “resolusi” saya untuk tahun 2016, mungkin berburu proyek penerjemahan nonbuku menempati tempat teratas.

Bukan rahasia lagi, tarif penerjemahan nonbuku lebih menjanjikan ketimbang buku. Tapi keinginan saya mencemplung di nonbuku justru karena saya cinta sekali penerjemahan buku. Dalam bayangan saya, idealnya dengan mengerjakan dokumen yang secara ekonomi lebih menguntungkan, saya akan bisa lebih berkonsentrasi saat menerjemahkan buku dan menyuguhkan hasil terbaik kepada pembaca.

Karena itulah, selama tahun 2016 waktu saya cukup tersita untuk mencari klien di luar penerbit buku. Akibatnya, performa saya menurun, “hanya” menggarap tujuh buku, 4 editan dan 3 terjemahan, lebih sedikit dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Tulisan berikut ini sama sekali bukan tentang tips mencari klien agensi penerjemahan (untuk selanjutnya disebut agensi saja), karena untuk itu masih banyak yang harus saya pelajari. Di sini saya hanya ingin berbagi apa saja yang sudah saya kerjakan selama ini.

Continue reading

TSN yang Bikin Senewen

TSN2015-3

Pelaksanaan TSN 2015, Minggu, 13 Desember 2015 di kampus Unika Atma Jaya, Jakarta (Sumber: http://www.hpi.or.id/tes-sertifikasi-nasional-tsn-2015)

Tadinya saya tidak berniat mengikuti Tes Sertifikasi Nasional (TSN) Himpunan Penerjemah Indonesia. Toh, penerbit yang pernah saya lamar tidak pernah menanyakan sertifikat, dan lebih melihat hasil tes terjemahan serta resume. Tapi situasinya sedikit berbeda ketika saya mencoba melamar ke agensi penerjemahan. Pernah ada agensi yang meminta bukti sertifikasi (meski bukan syarat mutlak). Akhirnya, setelah merenung dan menabung, pada Desember 2015 saya memberanikan diri mengikuti TSN bidang Umum dari bahasa Inggris ke bahasa Indonesia.

TSN merupakan salah satu cara menguji kompetensi penerjemah guna membantu pengguna jasa mendapatkan penerjemah profesional yang andal. Ada dua jenis TSN, bidang Umum dan Hukum, sedangkan pasangan bahasa yang diujikan sejauh ini baru Inggris dan Indonesia. Sebenarnya, dulu ada Ujian Kualifikasi Penerjemah (UKP) yang diselenggarakan setiap tahun oleh Pusat Penerjemahan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (PPFIB-UI) bekerja sama dengan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Sayangnya, UKP untuk bidang Hukum hanya bisa diikuti mereka yang ber-KTP DKI. Setelah UKP berakhir pada 2010, HPI berinisiatif mengadakan TSN yang dicanangkan untuk meneruskan UKP dan kali ini bersifat nasional.

Biaya mengikuti TSN 2015 cukup besar, Rp 1,25 juta untuk satu jenis ujian, karena itu saya tidak mau bersiap seadanya. Kendati menerjemahkan sudah menjadi pekerjaan saya sehari-hari, dalam bayangan saya TSN pastilah bikin senewen. Seperti yang disampaikan Mba Rita Adisoemarta, ketua Komite Kompetensi & Sertifikasi HPI, pada acara pelantikan lulusan TSN 2015, soal TSN sebenarnya mudah, cuma karena namanya ujian, kondisinya dibuat menegangkan. Belum lagi waktunya amat terbatas, dan peserta hanya boleh membawa kamus cetak (padahal sehari-hari saya mengandalkan Kateglo atau TheFreeDictionary dan acap kali mengecek Google).

Berikut ini sedikit cerita tentang pengalaman saya menempuh TSN:

Continue reading